Jakarta,traznews.com
Dewan Pimpinan Pusat Nasional Corruption Watch (DPP NCW) sangat menyesalkan pernyataan dari Presiden Jokowi yang mengungkapkan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam pemilihan presiden, sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara. Karena ini terkait dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat negara.
“Pernyatan Presiden sangat dangkal, dan berpotensi akan menjadi pembenar bagi Presiden sendiri, Menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024. Kami menganggap pernyataan ini akan rawan disalahgunakan. Sebab pejabat yang akan ikut kontestasi ataupun mendukung salah satu pasangan calon akan menyalahgunakan kewenangannya sehingga dipastikan terjadi abuse of power. Apalagi Presiden Jokowi jelas punya konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024, sebab anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, mendampingi Prabowo Subianto,” kata Hanifa Sutrisna, Ketua Umum DPP NCW di Jakarta (25/01/2024).
Hanif menambahkan dalam siklus politik elektoral, peran presiden haurs netral. Sebab presiden bukan sekadar jabatan politik, tetapi menurut UUD 1945, melekat pada dirinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden membawahi jutaan aparat penegak hukum, polisi, tentara, dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Bayangkan jika presiden tidak netral, akan muncul persoalan turunan di bawahnya. Cara berpikir Jokowi yang mengatakan boleh kampanye itu menempatkan presiden semata-mata sebagai jabatan politik. Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar Undang-Undang.
“Mencampuradukan antara jabatan politis, kepala negara, dan kepala pemerintahan, tidak dapat dibenarkan. Hal itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang, abuse of power. Pasal 17 ayat 2 huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sangat jelas mengatur bahwa agar tidak mencampuradukan kewenangan,” ujarnya.
Sebagai kepala nagara dan kepala pemerintahan, Presiden seharusnya dapat memastikan ketegangan politik dapat diredam dengan menunjukkan kenetralan serta memastikan pemilu dapat berjalan dengan adil dan bermartabat. Bukan malah ikut-ikutan membuat situasi politik menjadi lebih hangat ditengah potensi ketidakpercayaan sebagian masyarakat yang semakin besar atas pelaksanaan pemilu 2024 yang jujur adil dan demokratis.
Kami menilai bahwa pernyataan Presiden Jokowi dipastikan hanya merujuk pada ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi: “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
a. Tidak menggunakan failitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan; dan
b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Padahal, di dalam UU No. 7 Tahun 2017, khususnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”. Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye.
“Kami menilai jika ada tindakan presiden, apapun itu bentuknya, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran pemilu. Termasuk juga tindakan Menteri, yang melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu adalah pelanggaran kampanye pemilu. Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam cuti di luar tanggungan negara,” tegas hanif.
Hanif menuturkan di dalam Pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 juga terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara serta aparatur sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye. Ketentuan itu berbuyi “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”.
“Ketentuan ini jelas ingin memastikan, pejabat negara, apalagi selevel presiden dan Menteri untuk tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan pada peserta pemilu tertentu. Bahkan larangan itu diberikan untuk ruang lingkup waktu yang lebih luas, sebelum, selama, dan sesudah kampanye. Kerangka hukum di dalam UU Pemilu dapat disimpulkan ingin memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara untuk tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menguntungkan peserta pemilu tertentu,” tambah Hanif.
Berdasarkan uraian diatas, DPP NCW mendesak untuk segera Presiden Jokowi menarik pernyataan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak, karena ini akan berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu, dan berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan pemilu yang tidak fair dan tidak demokratis;
Hanif juga menyindir ucapan Menko Marves yang menyatakan, bahwa pilihlah pemimpin yang berkarakter baik dan tidak penuh kebohongan dalam sebuah unggahan pribadi ke sosial media pasca debat cawapres yang ditujukan ke Tom Lembong.
“Kalau opung ini bicara pemimpin yang berkarakter baik dan tidak suka bohong, apa tidak seperti menepuk air didulang terpecik muka sendiri? Rakyat bisa menyimak pernyataan-pernyataan Jokowi selama 9 tahun terakhir ini, apa itu yang dimaksud berkarakter dan tidak suka bohong?” Ujar Hanif memaparkan.
“Kami mendesak Bawaslu untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta pemilu tertentu. Kami juga mendesak kepada seluruh pejabat negara, seluruh apartur negara untuk menghentikan aktifitas yang mengarah pada keberpihakan, menyalahgunakan program pemerintah yang mengarah kepada dukungan pada peserta pemilu tertentu,” tutup Hanif