BANYUWANGIBingung bukan kepalang. Ya, begitulah yang dirasakan Fiftiya Aprialin sekeluarga. Warga Dusun Gunungsari, Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur, ini diduga telah menjadi korban praktik mafia tanah. Sertifikat tanah warisan miliknya dan keluarga mendadak bisa berubah atas nama orang lain.
Melalui kuasa hukumnya, Budi Hariyanto, SH, dituturkan. Kisah pilu bermula dari salah satu anggota keluarga, Sumarah, yang menggadaikan sertifikat kepada Galih Subowo, warga Desa Tegalarum, Kecamatan Sempu, sekitar tahun 2012 lalu. Selanjutnya, mengetahui bahwa 5 sertifikat tanah milik keluarga tersebut dijaminkan oleh saudara Sumarah kepada galih subowo.
“Tanpa sepengetahuan pemilik, sejumlah sertifikat tersebut diambil, kemudian menjadi hutang atau tanggungan pemilik sertifikat,” ucap Budi, Rabu (8/6/2022).
Sehingga pada waktu itu, tahun 2018 Sumarah dan Galih digugat di pengadilan Agama Banyuwangi
Gugatan akhirnya menghasilkan Surat Perjanjian Perdamaian Bersama antara Fiftiya dan keluarga dengan Galih Subowo, tertanggal 29 Nopember 2018. Yang salah satu isinya, untuk mengambil kembali sertifikat yang ada di Galih Subowo, Fiftiya sekeluarga harus membayar piutang sebesar Rp 958.000.000, selambat-lambatnya tanggal 29 Januari 2019.
Namun sayang, hingga batas waktu yang ditentukan Galih Subowo dinilai tidak memiliki iktikad baik. Dia selalu menghindar ketika hendak dilakukan pelunasan piutang. Bahkan PA Banyuwangi, terkesan berat sebelah. Uang pembayaran yang dibawa dalam proses perdamaian pun dianggap tidak ada lantaran ketidak hadiran Galih Subowo. Lebih parah, PA Banyuwangi juga menerbitkan surat perintah eksekusi.
“Padahal pihak PA Banyuwangi itu tahu dan melihat bahwa klien kami telah beriktikad baik dengan menyiapkan uang pembayaran,” ungkap pengacara yang berkantor di Perumahan Pesona Wirolegi, Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari, Jember ini.
Keputusan PA Banyuwangi tersebut dianggap janggal. Karena justru menghukum pada pihak yang beriktikad baik. Sementara Galih Subowo, yang tidak mematuhi surat perjanjian perdamaian justru dimenangkan.
Demi memperjuangkan hak atas tanah warisan dengan luas sekitar 4,5 hektar, kini Fiftiya sekeluarga berjuang untuk mencari keadilan. Salah satunya dengan mengadukan indikasi ketidakadilan PA Banyuwangi, kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sementara itu, hingga kini Tim rilis fakta belum berhasil mengkonfirmasi Galih Subowo. Selaku pihak yang disebut telah merubah atas nama secara sepihak sejumlah seertifikat tanah warisan milik Fiftiya Aprialin sekeluarga.
Untuk diketahui, dugaan kasus praktik mafia tanah yang menimpa Fiftiya sekeluarga disinyalir banyak terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Masyarakat berharap kepedulian dan kehadiran pemerintah, sehingga kasus serupa tidak terus terjadi. (*)