Jakarta,traznews.com
5 Juli 2023 – Hari ini, Aliansi Organisasi Mahasiswa Kesehatan Indonesia
(AOMKI) yang diwakilkan 7 Ikatan Organisasi Mahasiswa Kesehatan dan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mengadakan konferensi pers, untuk memberikan sikap tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang dibahas di DPR-RI dan mendesak Presiden Jokowi dan DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan atau Omnibus Law sektor Kesehatan.
Beberapa alasannya adalah rancangan RUU Omnibus Law Kesehatan
masih perlu ditinjau kembali karena ada beberapa poin yang tidak berpihak kepada
masyarakat, tidak ada transparansi kepada publik dalam bentuk draft yang entah
kemana, dan partisipasi yang sama sekali tidak bermakna.
Komitmen perbaikan dan penguatan sistem kesehatan nasional oleh pemerintah melalui
wacana gagasan 6 Pilar Transformasi kesehatan nasional yang kemudian gadang-gadang diperkuat dengan perumusan RUU Omnibus Kesehatan tentu perlu diapresiasi dan dikawal
bersama.
“Mengingat pandemi COVID-19 dan masalah kesehatan masyarakat lainnya yang belum terselesaikan telah memperlihatkan lemahnya sistem kesehatan nasional kita, seperti
paradigma dalam sistem kesehatan nasional yang belum mengedepankan upaya preventif dan promotif sehingga pengendalian dan pencegahan determinan kesehatan serta faktor risiko penyakit yang berdampak pada masalah kesehatan masyarakat selama ini tidak diprioritaskan, pendekatan sistem kesehatan nasional kita masih pada upaya kuratif yang terkesan menunggu di hilir,” Nalsali Ginting, Kepala Direktorat Advokasi, Ikatan Senat
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI).
Sejak bergulirnya wacana tersebut hingga mulainya pembahasan RUU Omnibus Kesehatan oleh Pemerintah dan DPR RI, Kami Aliansi Organisasi Mahasiswa Kesehatan Indonesia dan Indonesian Youth Council For Tactical Changes (IYCTC) pun turut mengawal secara konsisten RUU Omnibus Kesehatan baik formil maupun substansi termasuk memberikan
masukan, rekomendasi kebijakan, dan catatan kritis proses pembahasan RUU Omnibus Kesehatan.
Hal ini kami lakukan atas kesadaran bersama perlunya perbaikan sistem
kesehatan nasional yang jauh lebih baik dan pentingnya partisipasi aktif orang muda
Sayangnya sampai pada DIM (Daftar Inventaris Masalah) RUU Omnibus Kesehatan hingga pembahasan lanjutan RUU Omnibus Kesehatan pada 19 Juni 2023 dalam Rapat Kerja Pemerintah dan DPR RI, Pembahasan RUU Omnibus Kesehatan belum memenuhi asas keterbukaan.
“Informasi mengenai proses pembentukan RUU Omnibus Kesehatan sangat
terbatas dan sampai saat ini Draf RUU Omnibus Kesehatan terbaru yang dibahas yang nantinya akan dibawa di sidang Paripurna pun tidak dapat diakses oleh publik sebagai kelompok yang terdampak. Partisipasi dalam RUU Omnibus Kesehatan dinilai sebatas formalitas dan mengabaikan aspek partisipasi masyarakat yang bermakna yang meliputi hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya (right be considered); serta hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Hal ini tergambarkan dari masukan kelompok masyarakat sipil yang diabaikan sebagai pertimbangan dan tidak dijadikan bahan perbaikan dalam draft RUU terbaru yang hingga kini belum jelas keberadaannya,” jelas Salsabilla Syafa, Koordinator Isu Aliansi Organisasi Mahasiswa Kesehatan Indonesia
(AOMKI).
Selain itu, Febrian Rizky Arilya, Sekretaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa
Kedokteran Indonesia (ISMKI), menyampaikan bahwa penghapusan kepastian dan jaminan adanya dukungan anggaran atau Mandatory Spending dinilai kontradiktif dengan wacana Penguatan dan perbaikan sistem kesehatan nasional.
“Upaya penghapusan Mandatory Spending menunjukkan Pemerintah lepas tangan untuk menjamin dan memastikan tersedianya pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, terealisasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil dan
berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya yang sebelumnya telah diperjuangkan dalam
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan,” tambah Febrian.
Secara materiil RUU Omnibus Law Kesehatan sendiri mengabaikan masalah konsumsi rokok dengan tidak tegas meregulasi dan membatasi konsumsi produk mengandung zat adiktif termasuk diantaranya adalah rokok.
“Sebagai contoh kalimat wajib menyediakan ruang khusus merokok pada kawasan tertentu dalam pasal Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Ketika pemerintah “mewajibkan” instansi menyediakan ruangan untuk merokok, sama saja pemerintah telah membuka ruang pembunuhan massal yang bahkan diwajibkan untuk dibuat.
Ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia yang seharusnya mendapatkan layanan kesehatan yang layak dan udara bersih serta sehat. Kita tahu bahwa rokok mengandung 4000 zat adiktif dan terbukti menjadi faktor risiko bagi penyakit katastropik. Selain itu, Pemerintah
menyampaikan bahwa Iklan, Promosi, dan Sponsorship (IPS) Rokok bukan bagian dari RUU Kesehatan.
Padahal IPS Rokok terbukti menghambat upaya kesehatan dan pengembangan
sumber daya manusia. Masukan masyarakat sipil bahkan belum dipertimbangkan secara
matang dalam substansi RUU Kesehatan ini. Hal ini adalah bentuk kelalaian pemerintah pada kebijakan yang seharusnya pro perlindungan masyarakat bukan malah melemahkan aturan dan tunduk pada industri mematikan,” tegas Manik Marganamahendra, Ketua Umum
Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC).
Selanjutnya, hal lain yang harus menjadi catatan penting untuk transformasi kesehatan adalah distribusi tenaga kesehatan yang masih menjadi momok bagi sistem kesehatan Indonesia termasuk jumlah persebaran Dokter Gigi di Indonesia.
Aura Alya Rahma, Sekretaris
Jenderal Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI),
menyampaikan bahwa jika dilihat dari sebaran dan jumlah dokter gigi di Indonesia, ada 43 ribu dokter gigi dan hanya 4 ribu yang merupakan Dokter Spesialis.
Berdasarkan standar
WHO, seharusnya perbandingan Dokter Gigi 1:7500 penduduk, tapi nyatanya di Indonesia masih 1:12 0000 penduduk di Indonesia. Dalam DIM RUU Kesehatan menyebutkan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satunya yaitu melalui program pendidikan residensi berbasis rumah sakit.
Aura menilai bahwa program pendidikan residensi berbasis rumah sakit memerlukan pembahasan konsep dan kebijakan yang matang salah satunya mengenai fasilitas rumah sakit yang nantinya akan digunakan, baik di daerah maupun kota.
Selain itu, Aura juga berpendapat mengenai masuknya tenaga medis asing sebagai upaya pemerataan tenaga medis di Indonesia memerlukan perincian dalam landasan yuridis yang mengatur seperti standarisasi kualitas dan lama waktu praktiknya tenaga medis asing yang juga perlu menjadi perhatian.
RUU Omnibus Law Kesehatan ini juga melemahkan dari sisi praktik kefarmasian. “Sudah diatur pada UU nomor 36 tahun 2009, mengenai konseling obat, yang dapat meminimalisir kesalahan dalam penggunaan obat dan mengantisipasi efek samping, sehingga perlu dicantumkan kembali di RUU Kesehatan.
Selanjutnya, terkait substansi baru tentang pelaksanaan praktik kefarmasian, secara terbatas dapat dilaksanakan tenaga kesehatan lain.
Namun kami mengkritisi pemerintah yang seharusnya dapat memberdayakan apoteker dalam program tersebut guna memperkecil celah malpraktek kefarmasian,” Muhammad Hildan
Maulana, Sekretaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia
(ISMAFARSI)