Jakarta,traznews.com
Konstitusi UUD 1945, Pasal 28 E dan Pasal 28 F, secara tersurat dan tersirat menjelaskan hak bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak untuk mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi.
Praktiknya, penghormatan dan perlindungan atas hak dasar atas kebebasan berekspresi ini seringkali dilanggar, diabaikan dan digembosi oleh penguasa
pemerintah dan aparatus keamanan negara.
Masyarakat sipil dan aktivis pergerakan sosial yang mengekspresikan dan menyuarakan suara kritis dan aksi damai untuk menyoroti kekuasaan, mengungkap ketidakadilan dan kebenaran, dipaksa diam, disiksa, dan bahkan dipenjarakan, dengan berbagai alasan, diskriminasi dan legitimasi aturan hukum.
Di Tanah Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) mendokumentasikan peristiwa pelanggaran HAM berbasis pada peristiwa sepanjang tahun 2022 yang kami laporkan dalam publikasi “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”. Kami menemukan 26 kasus yang diduga melanggar hak atas kebebasan berekspresi yang terjadi meluas di berbagai daerah di Papua, Jayapura, Nabire, Merauke, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana dan Sorong.
Aksi protes terhadap kebijakan Otonomi Khusus Papua dan pembentukan Daerah Otonomi Baru, dan menyuarakan ketidakadilan, dihadapi dengan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi, yang melibatkan aparat keamanan negara Polri TNI dengan bertindak represif dan melanggar konstitusi hukum, yakni UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia : UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum : UU Nomor 34/2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia : Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalm Tindakan Kepolisian.
Dalam kasus ini terdapat tiga korban meninggal dan 72 orang luka-luka, 361 orang ditangkap sewenang-wenang, 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, diantaranya 18 orang dikenakan pasal makar dengan ancaman penjara seumur hidup.
“Pelanggaran HAM, hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Penggembosan dan pemenjaraan terhadap hak kebebasan berekspresi akan beresiko merampas hak hidup, tidak demokratis, penguasa menjadi paling benar”, jelas Franky Samperante, Direktur
Pusaka.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan memajukan HAM. Presiden Jokowi berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM dan Dialog Damai. Jauh Panggang Dari Api, praktiknya pelanggaran HAM di Papua masih terus terjadi. Pendekatan keamanan dan operasi militer dalam penanganan konflik bersenjata saat ini menimbulkan hilangnya hak hidup, hak atas rasa aman damai, hak atas kesejahteraan ekonomi.
Pusaka berpendapat dan meminta pemerintah dan aparat keamanan negara untuk menghormati dan melindungi hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara damai, orang-orang yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri, hak sipil politik, hak sosial ekonomi dan budaya, dan/atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah nasional di Papua.
Pemerintah segera mengevaluasi kebijakan pendekatan keamanan dan penggunaan taktik brutal TNI Polri dalam penanganan dan pengendalian aksi protes, melakukan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM dan memulihkan hak-hak korban: dan melakukan Dialog Damai yang efektif.