Jakarta-Digelarnya kembali persidangan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) antara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dengan PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) di Pengadilan Negeri (PN) Pusat, disambut baik oleh ratusan eks karyawan PT MTI.
Saluran hukum ini ditempuh karena dalam proses kepailitan PT MTI sesuai Putusan Pailit Nomor : 13/Pdt.Sus-Pailit/2007/PN Jkt.Pst pada 4 Mei 2007, salinan Putusan Homologasi Nomor 13/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Jkt. PSt, tanggal 4 April 2018.
PT MTI lalai melakukan kewajiban kepada kreditur konkuren sesuai pasal 151 Undang-Undang Kepailitan (UUK). Pembayaran sudah jatuh tempo bila merujuk pasal 168 UKK yang seharusnya sudah terbayarkan tahun 2017 dan terpenuhinya kreditur lain sesuai pasal 2(1) UUK Nomor 37 tahun 2004.
“Kami berharap kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara PKPU antara KBN dan PT MIT di PN Jakarta Pusat pada Selasa 5 April 2022, ada hak-hak normative sebanyak 400 karyawan senilai Rp 50 miliar dan PT KBN Rp 8 miliar,” ungkap Muhamad Nur Aripin kepada wartawan di Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Muhamad Nur Aripin meminta kepada majelis hakim, pemerintah dan semua pihak terkait, dapat melihat dan merasakan penderitaan eks buruh PT MTI yang di PHK dan tidak mendapatkan hak pesangon sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
“Kami ini masyarakat kecil dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan anak istri sehari-hari. Pak hakim tolonglah kami, berikanlah putusan yang adil dalam perkara PKPU ini,” harap Nur Aripin mewakili ratusan buruh eks MTI yang terkena PHK.
Dalam pasal 39 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, telah ditentukan bahwa upah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit. Artinya upah buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya.
Sidang perkara PKPU antara PT KBN dan PT MTI di PN Jakarta Pusat akan di gelar kembali pada 12 April 2022.
Diberitakan sebelumnya, kuasa hukum PT KBN Heince T Simanjuntak SH SE MSi menjelaskan PT MIT dalam perdamaian diberikan grass period selama 5 tahun namun lalai dalam melakukan kewajibannya.
Dengan beberapa kali somasi yang telah dikirimkan ke PT MIT tidak kooperatif, kemudian PT KBN menempuh jalur PKPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Langkah hukum kita tempuh dengan dasar sangat kuat atas pembayaran yang sudah jatuh tempo bila merujuk pasal 168 UKK, yang seharusnya sudah terbayarkan tahun 2017 dan terpenuhinya kreditur lain sesuai pasal 2(1) UUK No 37 tahun 2004,” terang Heince.
PT KBN tidak menempuh pembatalan perdamaian berdasarkan pasal 170 UUK karena PT KBN bukan pihak dalam voting peradmaian dalam kepailitan. Pembatalan hanya bisa dilakukan oleh para pihak yang ada didalam perdamaian yaitu kreditur konkuren dengan membuktikan bahwa PT MIT gagal melakukan pembayaran, padahal pembayaran dimulai tahun 2022 sesuai grass period yang diberikan.
Heince mengungkapkan, telah menjadi pengetahuan bahwa pemilik MIT telah di hukum oleh pengadilan. Sehingga ketidak patuhan terhadap UU yang berlaku di negara ini sangat terlihat jelas. PT KBN sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak bisa tidak harus melakukan penagihan bagi kepentingan negara.
Begitu juga karyawan sebagai ujung tombak hidup matinya perusahaan harusnya dilindungi dengan segala hak yang melekat atas perjuangan dalam pekerjaan bertahun-tahun. “Tidak ada tempat bagi perusahaan yang nakal dan pribadi nakal di negara yang berdasarkan hukum ini. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tandas Heince