Jawa Barat – Pasca digelarnya Audiensi antara Komisi Yudisian (KY) dengan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) bersama Tokoh Masyarakat Kabupaten Tulangbawang dan para Aktivis Anti Korupsi Lampung pada Selasa (20/09/2022) di Gedung KY Jln. Kramat, RT 08 RW 08 Kec. Senen, Jakarta Pusat.
Audien yang digelar oleh KY itu berkaitan dengan Laporan GNPK-RI pada (16/08/2022) kepada KY soal Dakwaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Tanjungkarang, terhadap Kasus Korupsi APBD TA 2018 di Sekretariat DPRD Kabupetn Tulangbawang, Lampung yang dinilai janggal serta menyesatkan terdakwa.
“GNPK-RI tentunya sangat mengapresiasi Operasi senyap KPK terhadap Oknum Hakim Agung Tipikor Mahkamah Agung (MA) pada Rabu, 21 September 2022 sekitar jam 16.00 WIB dinihari kemarin,”ucap NS. Hadiwinata Ketua GNPK-RI Jawa Barat, Sabtu (24/9/2022) malam.
Abah Nana, sapaan akrab Ketua GNPK-RI Jawa Barat ini menyampaikan bahwa pihaknya telah mencium adanya dugaan Mafia Peradilan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu bertopengkan Majelis Hakim.
“OTT KPK terhadap Oknum Hakim Agung dkk ini telah menjawab dari hasil investigasi Tim kami (GNPK-RI) soal integritas oknum hakim dalam memutuskan suatu perkara, khususnya Tipikor,”ucap Abah Nana.
Ia menerangkan, Tim Satuan Tugas (Satga) GNPK-RI Jabar yang di tugaskan salah satunya untuk wilayah Provinsi Lampung telah menemukan adanya indikasi kejanggalan terkait Putusan Majelis Hakim PN Tipikor Tanjung Karang terhadap kasus Korupsi APBD Tulangbawang.
” Hasil investigasi inilah yang kami sampaikan ke KY kemarin, dan seusai audien juga kami serahkan berkas tambahan untuk menjadi dasar KY melakukan pengawasan etik hakim di Lampung. Dalam persoalan yang kami bawa ini tidak mengharapkan terdakwa dibebaskan, namun kami menginginkan agar integritas hakim terus ditekankan,”tutur Abah Nana.
“Misalkan, pada kasus korupsi di Sekretariat DPRD Tulangbawang ini ada tiga orang terdakwa yang sudah incrah di tingkat Banding dan Kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), lalu oleh GNPK-RI kasus ini kembali mencuat sehingga Penyidik Tipikor Polda Lampung melanjutkan proses hukum dan muncul tersangka baru, ya silahkan di eksekusi, itu ranahnya penyidik sebagai upaya Polri menjaga marwah institusinya, kami fokus pada responsif KY,”tutur dia.
Sementara, dikutip dari Siaran Langsung (Live) yang ditayangkan Akun Media Sosial (Medsos) resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat Konferensi Pers pada Jumat (23/09/2022) pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Oknum Hakim Agung Tipikor MA dkk.
Firli Bahuri, Ketua KPK mengatakan, OTT itu digelar setelah penyidik menerima informasi tentang dugaan penyerahan sejumlah uang kepada Sudrajad atau melalui perantaranya terkait penanganan sebuah perkara di MA.
Dijelaskan Firli, berdasarkan informasi yang diterima oleh tim KPK bahwa pada Rabu dinihari telah terjadi penerimaan sejumlah uang dalam bentuk tunai dari saudara S kepad DY sebagai representasi SD di satu hotel di Bekasi.
Firli melanjutkan, pada Kamis (22/09/2022) sekitar pukul 00.01 WIB, tim KPK kemudian bergerak mengamankan DY di rumahnya beserta uang tunai berjumlah 202 ribu Dolar Singapura.
Secara terpisah, tim KPK juga langsung mencari dan mengamankan YP dan ES di wilayah Semarang, Jawa Tengah guna dilakukan permintaan keterangan. Para pihak yang diamankan beserta barang bukti langsung dibawa ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan di Gedung Merah Putih, KPK.
“Tersangka AB juga hadir ke Gedung Merah Putih dan menyerahkan uang tunai sebesar Rp 50 juta. Sehingga, KPK telah berhasil mengamankan barbuk berupa uang tunai sebesar 205 ribu Dolar Singapura, dan 50 juta rupiah,”terang Firli.
Firli menjelaskan, berdasarkan keterangan dalam penyelidikan yang dilakukan oleh KPK ditemukan bukti awal sehingga cukup untuk meningkatkan status perkara tersebut ke penyidikan.
Saat ini, KPK menetapkan 10 orang tersangka. Mereka berasal dari MA yaitu SD (Hakim Agung), ETP (Panitera Pengganti Mahkamah Agung), kemudian 2 orang ASN pada Kepaniteraan MA (DY dan MH), serta 2 orang ASN MA lagi (A dan R). Sedangkan dari swasta yaitu YP dan ES berprofesi sebagai Advokat, serta H dan IDKS dari Koperasi Intidana atau ID selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam. Mereka ditahan di sejumlah rumah tahanan (tahanan) secara terpisah.
Firli Bahuri menjelaskan, suap yang dilakukan untuk pengaruhi kasasi, dugaan suap bermula saat gugatan perdata dan pidana terkait aktivitas Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Koperasi ID memberi kuasa kepada pengacara YP dan ES.
Mereka tidak puas atas putusan PN Semarang dan Pengadilan Tinggi (PT) setempat sehingga melanjutkan upaya hukum berikutnya yaitu Kasasi di MA. Kedua oknum Pengacara ini diduga mengadakan pertemuan dan berkomunikasi dengan beberapa pegawai Kepaniteraan MA yang dinilai bisa menjadi perantara Hakim Agung untuk menyesuaikan putusan sesuai dengan keinginan oknum pengacara yaitu mengabulkan putusan kasasi yang menayatakan Koperasi Simpan Pinjam ID tersebut ‘Pailit’.
Firli menuturkan, DY bersepakat untuk bersedia membantu oknum pengacara dengan komitmen sejumlah uang. Lalu, DY mengajak Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA (ETP) dan ASN pada Kepaniteraan MA (MH), mereka ikut serta menjadi perantara untuk menyerahkan uang ke Majelis Hakim.
KPK menduga, D, MH, dan ETP menjadi perantara SD dan beberapa pihak di MA guna menerima suap dari orang-orang yang berperkara di MA.” Kedua oknum Pengacara ini diduga memberikan uang sebesar 202 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 2,2 miliar yang sumber dananya dari H dan IDKS. Kemudian D membagi-bagikan uang tersebut untuk sejumlah pihak yang terlibat dalam perkara ini,”terang Firli.
KPK menegaskan, atas perbuatannya, H, YP, ES, dan IDKS melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Untuk, SD, D, ES, MH, R, dan A sebagai penerima suap disangka dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (Rls/Timsus GNPK-RI).