JAKARTA ,traznews.com Ahmad Fatoni, SH.,CLA, yang tergabung dalam Advokat LISAN kunjungi Makamah Konstitusi. Kedatangannya ingin mengajukan Pengaduan Pelanggaran kode Etik terhadap Hakim Konstitusi Saldi Isra terkait Putusan batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden, Kamis (19/10/2023) Gedung Makamah Konstitusi
” Yang kami laporkan adalah tindakan beliau pada saat sidang mahkamah Kontitusi terkait uji materi undang undang Pemilu. Saat itu Isra menyebarkan informasi Subyektif menyudutkan hakim Konsitusi lain. Bagai hakim seharusnya yang dia sampaikan adalah argumentasi Yang ilmiah Berdasarkan logika hukum, Opini subyektif, tendensius dan cenderung fitnah, kata Ahmad
” Kami juga mempertanyakan integritas saudara Saldi Isra Pernah Ikut membuat putusan yang menguntungkan dirinya sendiri dalam perkara di mahkamah konstitusi.”
“Perkara tersebut adalah uji materi undang undang mahkamah konstitusi Nomor 7 tahun 2020 terkait pasal yang menguntungkan dirinya yang semula hanya menjabat dua periode atau selama 10 tahun menjadi bisa menjabat sebagai 15 tahun,” jelasnya
Bahwa telah diketahui, Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Pertimbangan Hukum Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tertanggal 21 September 2023 memiliki Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) dari Hakim Konstitusi lainnya, dalam pertimbangan hukumnya ada hal yang tidak elok yang semestinya untuk menjadi pertimbangan hukum, salah satunya dikutip sebagai berikut,
Bahwa secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, di mana tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama.
Dari belasan perkara tersebut, hanya perkara gelombang pertama ini yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 54 UU MK, yaitu Presiden dan DPR. Selain itu, didengar pula keterangan Pihak Terkait, ahli Pemohon, dan juga ahli Pihak Terkait.
Ketika Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu: Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah. Tercatat, RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.
Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).
Bahwa dalam RPH berikutnya, masih berkenaan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua, in casu Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 (selanjut ditulis Perkara Nomor 90- 91/PUU-XXI/2023), RPH dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi. Beberapa Hakim Konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023 telah memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menunjukkan “ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29- 51-55/PUU-XXI/2023.”
Sangat jelas dan tidak terbantahkan pertimbangan hukum yang dinyatakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut mencerminkan tendsi yang negative untuk masyarakat Indonesia, terkhususnya tendsi yang negative untuk Mahkamah Konstitusi.
Lanjut, terdapat video-video yang beredar di media sosial yang cenderung tendisinya bersifat negative dan menyudutkan salah satu pihak, hal tersebut diakibatkan dari Pertimbangan Hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra. Oleh karenanya Pertimbangan Hukum Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut menciptakan dan mengakibatkan tendensi yang negative kepada Hakim-Hakim Konstitusi lainnya, terkhusus kondisi negative terhadap Lembaga Mahkamah Konstitusi.
Merujuk kepada Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakukan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi pada point ke 4 tentang Prinsip Kepantasan Dan Kesopanan yang dikutip sebagai berikut:
“Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.”
Sangat jelas dan tidak terbantahkan setiap Hakim Konstitusi harus menjaga kepantasan dan kesopanan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Oleh karenanya jika dikaitkan dengan argumentasi pertimbangan hukum Hakim Konstitusi Saldi Isra, hal tersebut sangat tidak tercermin dan melanggar kode etik yaitu Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, sehingga sangat relevan saya untuk menyampaikan pengaduan pelanggaran kode etik terhadap Hakim Konstitusi Saldi Isra
Selanjutnya, mohon perhatian dan tindak lanjut dari Dewan Etik Mahkamah Konstitusi terhadap Hakim Konstitusi Saldi Isra dikarenakan yang bersangkutan patut diduga terbentur conflict of interest atas uji materi Undang-undang Mahkamah Konstitusi Nomor 7 tahun 2020 terkait pengaturan masa jabatan yang semula hanya menjabat 2 periode atau selamat 10 tahun bisa menjabat selama 15 tahun, hal tersebut membuktikan menguntukan Hakim Konstitusi Saldi Isra namun faktanya Hakim Konstitusi Saldi tidak memberikan pertimbangan hukum yang mengandung unsur sentimen.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian diatas, mohon kepada Dewan Etik Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Hakim Konstitusi Saldi Isra sebagai Hakim Konstitusi atau setidak tidak nya menghukum Hakim Konstitusi Saldi Isra telah melanggar Kode Etik.