PRINGSEWU (Traznews) – Salah seorang peserta didik di SMAN 1 Pardasuka yang enggan disebutkan namanya, dipaksa membayar pungutan dengan dalih uang komite oleh pihak sekolah tempatnya menimba ilmu. Mirisnya peserta didik tersebut berasal dari keluarga kurang mampu.
Siswi yang kini duduk di bangku kelas XII menceritakan jika setiap tahun di sekolahnya selalu ada uang komite yang wajib dibayar.
“Dulu waktu kelas X disuruh bayar tiga juta dua ratus ribu, kelas XI satu juta delapan ratus ribu,” paparnya, Jumat (13/10/2023).
Dilanjutkannya lantaran iuran yang dibebankan pada kelas XI belum lunas, ia diancam tidak bisa mengikuti ujian semester.
“Harus bayar dulu nyicil minimal seratus ribu baru bisa ikut ujian,” terangnya.
Sementara itu orang tuanya menambakan bahwa ia yang bekerja sebagai buruh serabutan memang kesulitan untuk membayar pungutan yang ditetapkan pihak sekolah.
“Hasil dari kerja ya paling untuk kebutuhan sehari-hari, itu pun kalau ada kerjaan,” ujarnya.
Ia berharap pihak sekolah terbuka mata hatinya sehingga bisa memberi keringanan agar anaknya bisa terus bersekolah.
“Ya kalau bisa sih ada keringanan dari sekolah, lihatlah kondisi orang tua murid seperti kami ini,” pungkasnya.
Sementara itu Kepala SMAN 1 Pardasuka, Kusairi, tidak bisa dimintai keterangan. Saat media ini mendatangi sekolah SMAN 1 Pardasuka,
Dayat, Satpam sekolah yang berjaga mengatakan bahwa Kepala Sekolah sedang tidak ada.
“Tidak ada, Senin saja kalau mau bertemu,” ujarnya.
Padahal menurut salah satu siswa, ia melihat jika Kepala Sekolah masuk ke ruangannya.
“Ada, tadi saya lihat barusan masuk kantor,” terangnya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Lampung, Nur Rakhman Yusuf, dalam siaran pers yang diterima media ini mengatakan bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah di Provinsi Lampung, untuk secara aktif memantau Komite Sekolah agar menerapkan sumbangan pendidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam beberapa pemeriksaan yang pernah dilakukan Ombudsman, ditemukan Kepala Sekolah ikut menyetujui, yang ditandai dengan tandatangan Kepala Sekolah terhadap hasil keputusan rapat komite yang membahas tentang pungutan berlabel sumbangan. Bahkan dalam beberapa pemeriksaan, ditemukan sumbangan pendidikan tersebut berdampak terhadap kegiatan belajar mengajar di sekolah seperti penahanan Kartu Ujian peserta didik.
“Terkait hal ini saya ingatkan agar Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah secara aktif memantau dan meluruskan dalam hal terjadi proses yang salah dalam penerapan sumbangan pendidikan di sekolahnya,” tegas Nur Rakhman.
Masih menurut Nur, pada Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dalam Pasal 12 yang mengatur larangan komite sekolah untuk melakukan pungutan dari peserta didik maupun wali/orangtuanya. Masih di Permendikbud yang sama, tercantum bahwa ketentuan sumbangan yaitu bersifat sukarela. Bahkan kriteria sumbangan juga sangat jelas diatur dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2012 pada Pasal 1 yaitu bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
“Jadi sumbangan tidak sekedar nama, tapi juga mekanisme dan penerapannya, jika dalam praktiknya masih ditentukan jumlahnya, ditentukan batas waktu pembayarannya, pihak komite juga “memaksa” para orang tua murid menandatangani surat pernyataan, bahkan sampai mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah, itu namanya sumbangan paksa rela,” tegas Nur.
Sementara itu Humas Ombudsman RI perwakilan Lampung, Risqa Tri Oktaviani, saat dihubungi via WhatsApp menyarankan agar pihak sekolah SMAN 1 Pardasuka dilaporkan.
“Itu berarti ada orang tua murid yang dirugikan sehingga saya arahkan untuk melapor ke Ombudsman saja,” ujar Risqa singkat.(*)